Rabu, 04 Juli 2012

Haruskah Seperti Ini


SINYAL ‘WARNING’ DARI YUSRIL
UNTUK PEMERINTAHAN SBY

Oleh :
Yustinus Farid S, S.IP, MPA
(Dosen Program Studi Ilmu Pemerintahan Universitas Riau Kepulauan)

           
Yusril Ihza Mahaendra memang dikenal oleh masyarakat pada umumnya sebagai politikus Partai Bulan Bintang. Ini tak lain dia adalah seorang pendiri partai yang berlambang bulan sabit dan bintang diatasnya. Namun, tak banyak masyarakat mengenal dia sebagai pakar hukum tata Negara. Yusril memang telah banyak makan asam garam di bidang hukum dan birokrasi Indonesia, karena dia aktif sebagai pejabat Negara dibawah kepemimpinan lima presiden yaitu Soeharto, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono jilid I. Itulah Yusril, pria kelahiran Lalang, Manggar, Belitung Timur, 5 Februari 1956 ini pernah menjabat Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (26 Agustus 2000 - 7 Februari 2001), Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Kabinet Gotong Royong (Agustus 2001 - 2004). Terakhir, dia menjadi Menteri Sekretaris Negara Kabinet Indonesia Bersatu (20 Oktober 2004 - 2007).
            Sekarang ketokohan dia walau bukan sebagai pejabat Negara, tapi mampu membuat mata masyarakat Indonesia tercengang dengan berbagai kemenangannya ‘melawan’ pemerintah dalam berbagai kasus. Yusril berhasil mengalahkan SBY dalam kasus Jaksa Agung Ilegal Hendarman Supandji dan pelantikan Plt Gubernur Bengkulu Ilegal menggantikan Agusrin Nadjamuddin. Dan sekarang dia berhasil ‘memukul’ kembali pemerintah khususnya Presiden SBY terkait penghentian kasus proyek Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) yang tak lain dia sebagai tersangka.
            Pada kemenangan pertama, dia menggugat keabsahan Hendarman Supandji sebagai jaksa agung pada pertengahan 2010. Ia merujuk pada Pasal 19 Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Agung Republik Indonesia, yang menyatakan Jaksa Agung adalah pejabat negara diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Pada pengumuman Kabinet Indonesia Bersatu II 21 Oktober 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memutuskan Jaksa Agung tetap Hendarman. Presiden belum melakukan pergantian. Menurut Yusril, jabatan Hendarman berakhir ketika Kabinet Indonesia Bersatu resmi dibubarkan atau periode 2004-2009. Sebab, jaksa agung bagian dari kabinet yang usia jabatannya sama dengan usia jabatan Presiden yang memilihnya, yaitu lima tahun.(sumber:inilah.com) Pada 22 September 2010, Mahkamah Konstitusi memutuskan Hendarman tidak lagi menjadi Jaksa Agung yang sah, sejak pukul 14.35 WIB. Pada tanggal 24 September 2010, Presiden mengakhiri perdebatan dengan mengeluarkan keputusan presiden yang memberhentikan Hendarman.
Pada kasus kedua, Yusril Ihza Mahendra berhasil memaksa Presiden SBY dan Mendagri menunda pencopotan gubernur Bengkulu. Bahkan untuk kasus ini, Presiden SBY legowo dan siap melaksanakan putusan pengadilan serta mengundang khusus Yusril ke kediamannya di Cikeas untuk menerima masukan dari Yusril Ihza Mahendra.
Kemenangan Yusril yang terbaru adalah kasus siminbakum. Dalam kemenangan ini merupakan sinyal bahaya bagi pemerintahan SBY, khususnya dengan keteledoran dalam mengeluarkan kebijakan. Dengan kejadian ini, menunjukkan bahwa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah “kurang” memiliki kekuatan hukum dan terkesan dipaksakan. Dan Yusril-lah yang telah membuka mata masyarakat.
Dalam waktu dekat, Yusril akan melakukan gugatan kembali dengan mewakili LSM Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) atas grasi terhadap terpidana narkoba asal Australia ke PTUN. Selain itu Yusril juga sudah melakukan gugatan terhadap pemerintah yaitu mengenai posisi wakil menteri dan kebijakan kenaikan bahan bakar minyak (BBM), dan sudah banyak pakar dan ahli yang dihadirkan untuk kedua kasus ini.
Dinamika pemerintahan saat ini sangat menarik dan mengalami babak baru, dimana pemerintah telah dibuat ‘malu’ oleh warganya, terkhusus Presiden SBY sebagai pemimpin telah dipermalukan oleh mantan bawahannya sendiri. Kemenangan demi kemenangan Yusril dalam menggugat pemerintah membuat semakin menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan SBY. Dan bisa juga akan muncul ‘yusril-yusril’ yang lain untuk melakukan gugatan kepada pemerintah. Atau bahkan menimbulkkan ketidakpercayaan yang besar terhadap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dan masyarakat tidak mau melaksanakan kebijakan yang dikeluarkan. Karena yang tertanam saat ini di masyarakat adalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah hanya asal-asalan dan dipaksakan untuk ada, padahal kekuatan hukumnya masih kurang.
Bisa dibayangkan jika masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada Pemerintahnya sendiri, maka kejadian tahun 1966 atau 1998 akan terulang kembali. Untuk itu pemerintah diharapkan mengambil sikap untuk membuat masyarakat percaya kembali pada pemerintah dan melakukan evaluasi ketika sebelum mengeluarkan kebijakan harus dilakukan pembahasan yang mendalam, teliti dan saksama. Dengan kasus ini memang ada dua hal yang bisa diperoleh, pertama menunjukkan kepada kita semua bahwa hukum tidak selalu memihak pemerintah atau pihak yang kuat dan berkuasa, kedua, merupakan sinyal bahaya bagi pemerintahan SBY terkait dengan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah, jika tidak segera diambil langkah evaluasi maka pemerintahan SBY tidak sampai 2014.

*Batam, 2 Juni 2012, 11.30 wib.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar