Selasa, 27 Desember 2011

Angin Surga Bagi PNS di Tengah Otda

Oleh: Y.Farid Setyobudi, SIP,MPA, Dosen Jurusan Ilmu Pemerintahan, Universitas Riau Kepulauan (Unrika) Batam

Pelaksanaan Otonomi Daerah (Otda) di Indonesia selalu menghadirkan fenomena-fenomena baru dan menarik untuk diperbincangkan. Fenomena atau implikasi dari otonomi daerah yang saat ini hangat dibincangkan baik di kalangan politisi, pengamat pemerintahan daerah, maupun akademisi adalah adanya wacana penghapusan wakil kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Padahal dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 56 ayat 1, menjelaskan bahwa kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu paket pasangan secara demokratis oleh masyarakat yang dicalonkan oleh partai politik.
Memang dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pilkada) selalu berakhir kurang manis. Sejak UU otonomi daerah digulirkan pada era reformasi sejak tahun 1999, banyak sekali kasus kekisruhan pilkada terjadi, misalnya kasus pilbup Tuban, pilbup Banyuwangi, pilgub Maluku Utara, pilbup Tangerang Selatan, pilwako Batam, dan masih banyak lagi kasus-kasus kekisruhan pilkada. Hal ini menunjukkan bahwa tidak selamanya pilkada membawa dampak positif bagi daerah, baik tingkat propinsi maupun kabupaten/kotamadya.
Walaupun kekisruhan selalu dimulai dari rasa ketidakpuasan dari calon yang kalah, akan tetapi dari pihak pemenang pun juga mengalami ketidakharmonisan ketika sudah menjabat kepala daerah dan wakil kepala daerah. Keharmonisan kepala daerah dan wakil kepala daerah jarang yang berakhir hingga masa jabatan itu habis, kebanyakan dalam perjalanan kepemimpinan mereka di daerah selalu terjadi perpecahan apalagi ketika mendekati masa pilkada periode berikutnya. Banyak pasangan yang pecah bahkan saling bersaing untuk maju menjadi bakal calon (balon) kepala daerah. Sehingga jika dilihat dalam keefktifan kinerja kepala daerah dan wakil kepala daerah hanya 3-3,5 tahun saja dari masa jabatan 5 tahun yang secara tidak langsung akan mengganggu pelayanan terhadap masyarakat. Ada beberapa kasus pilkada yang belum mencapai 1 tahun menjabat sudah mengalami perpecahan pemimpin daerahnya, seperti yang terjadi di Surabaya Jawa-Timur, dimana Walikota Tri Rismaharini dijadikan tumbal oleh Wakil Kepala Daerah, Bambang DH, yang seharusnya tidak bisa mencalonkan diri sebagai walikota karena sudah 2 periode, namun dia maju kembali sebagai wakil. Tetapi apa yang terjadi, dia memainkan strategi politik melalui DPRD untuk menggulingkan atasannya (walikota) sendiri. Walau itu baru anggapan beberapa kalangan maupun media massa bahwa pemakzulan Walikota Surabaya oleh dewan dan Wakil Walikota di balik semua itu. Akan tetapi, sampai saat ini tudingan itu tidak terbukti. Memang dunia politik itu kejam, akan tetapi juga memiliki etika dalam berpolitik.

Angin Surga bagi PNS
Dihapusnya wakil kepala daerah dalam pilkada yang biasanya satu paket dengan kepala daerah justru menjadikan angin surga bagi para birokrat atau pegawai negeri sipil (PNS). Dimana draft RUU ini akan diatur dalam UU Pilkada yang saat ini sudah pada tahap sinkronisasi di Kementerian Hukum dan HAM, dan kemudian akan diajukan ke DPR untuk disahkan dalam UU Pemerintahan Daerah yang baru, disebutkan bahwa wakil kepala daerah tidak dipilih dalam pilkada satu paket dengan kepala daerah, melainkan dipilh langsung oleh kepala daerah terpilih dan berasal dari kalangan PNS, seperti yang disampaikan oleh Djohermansyah Djohan, Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri (Haluan Kepri, 2 Maret 2011). Inilah yang menjadikan angin surga bagi PNS, karena jenjang karir para ”pelayan masyarakat” bertamabah 1 tingkat. Yang sebelumnya jabatan karir PNS hanya mentok di Sekda (Sekretaris Daerah) namun akan bertambah bisa menjadi wakil kepala daerah. Walau demikian semua tergantung dari kepala daerah terpilih. Setidaknya membuat PNS lebih dihargai pengabdiannya untuk negeri ini, karena juga memiliki kesempatan untuk memimpin daerahnya sehingga tidak kalah dengan politisi.
Setiap kebijakan yang dihasilkan atau diputuskan akan selalu membawa dampak kebelakangnya. Penghapusan wakil kepala daerah dalam pilkada merupakan angin surga bagi PNS namun tidak bagi masyarakat sipil, karena akan kehilangan kesempatan untuk menjadi pemimpin di daerahnya sebagai wujud pengabdian bagi kemajuan daerahnya.
Dengan adanya wacana untuk menghapus wakil kepala daerah dalam pilkada, akan menjadikan perbincangan yang menarik dalam konteks otonomi daerah kedepannya. Wacana penghapusan tersebut memang diharapkan mampu meminimalisir kasus-kasus pilkada yang terjadi seperti di beberapa daerah diatas.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar